We found Few available jobs for you
Monday, September 15, 2025
Ketika Masjid di Punjab India Bersinar Kembali
internasional
2:23:00 AM
Punjab kini menjadi sorotan nasional karena menampilkan harmoni antaragama yang jarang terlihat di negara lain. Sementara di banyak wilayah India terjadi konflik komunal, di Punjab, komunitas Sikh dan Hindu secara aktif membantu membangun dan merestorasi masjid yang terlantar. Tindakan ini menunjukkan bahwa kerja sama lintas agama dapat berjalan di tengah sejarah panjang ketegangan pasca-Partition.
Sejak era Partition pada 1947, banyak masjid di Punjab ditinggalkan karena migrasi besar-besaran komunitas Muslim ke Pakistan. Selama bertahun-tahun, bangunan-bangunan ini menjadi rusak dan terbengkalai. Namun sejak awal 1980-an, ketika kekerasan militansi mereda, ratusan masjid telah berhasil dipugar dengan dukungan warga non-Muslim di Punjab.
Di desa Khanan Khurd, distrik Muktsar, sebuah masjid baru dibangun berkat kontribusi warga Sikh dan Hindu untuk komunitas Muslim lokal. Setiap keluarga di desa ikut ambil bagian dalam pengumpulan dana. Pada upacara peresmian, semua warga hadir menyaksikan shalat yang digelar di masjid baru tersebut, menunjukkan persatuan masyarakat setempat.
Masjid tersebut dibangun di atas lahan yang dialokasikan oleh Punjab Waqf Board. Namun, lima keluarga Muslim di desa itu tidak mampu membiayai konstruksi sendiri. Dukungan warga non-Muslim menjadi kunci agar masjid dapat berdiri kembali. Mahendra Singh, warga desa, menyatakan bahwa pengalaman shalat pertama di masjid itu menjadi momen kebahagiaan bagi seluruh masyarakat.
Shahi Imam Mohammad Usman Rahmani dari Punjab pun mengunjungi desa tersebut untuk menyampaikan apresiasi kepada warga non-Muslim yang membantu tetangga Muslim mereka. Hal ini menunjukkan rasa hormat dan toleransi yang kuat antara komunitas berbeda di Punjab.
Di desa Bakhtgarh, distrik Barnala, keluarga Sikh mendonasikan sebidang tanah agar 15 rumah Muslim dapat membangun masjid. Bantuan ini menjadi simbol nyata kerjasama lintas agama yang mampu memperkuat hubungan sosial di desa tersebut.
Begitu pula di desa Machike, distrik Moga, sebuah masjid lama yang sempat dibongkar untuk jalan raya kini dipulihkan dengan bantuan warga Hindu dan Sikh. Restorasi ini menegaskan komitmen masyarakat setempat terhadap pelestarian warisan keagamaan.
Di Kutba Bahmania, Barnala, masjid yang ditinggalkan sejak Partition 1947 berhasil direstorasi oleh komunitas Sikh dan diserahkan kembali kepada umat Muslim. Bangunan ini berada di dekat gurudwara, menunjukkan koeksistensi yang harmonis antara rumah ibadah berbeda.
Para warga desa yang memindahkan masjid ini bekerja sama dengan pengurus gurudwara untuk memastikan restorasi berjalan lancar. Charanjit Singh, seorang warga, menyatakan kegembiraannya melihat seluruh masyarakat bersatu demi kebaikan bersama.
Menurut Swaran Singh, seorang warga lanjut usia, masjid tersebut tidak pernah diserang komunitas lain sejak Partition. Upaya restorasi ini, menurutnya, memperkuat harmoni antaragama di desa tersebut.
Sarpanch desa Buta Singh menegaskan bahwa warga Hindu dan Sikh serta Muslim hidup berdampingan secara damai. Mereka sepakat memperbaiki masjid yang sudah tua dan rapuh dengan mengumpulkan dana bersama, lalu menyerahkan kendali masjid kepada komunitas Muslim setempat.
Di Bhoolar, distrik Moga, sebuah masjid baru dibangun meski desa ini memiliki tujuh gurudwara dan dua kuil. Empat keluarga Muslim yang memilih tetap tinggal di desa membutuhkan tempat ibadah, sehingga warga lain bersatu membantu pembangunan masjid baru.
Di Bakhtgarh, pembangunan masjid Noorani Masjid dilakukan dengan donasi tanah dan dana dari warga Hindu dan Sikh. Muslim di desa sebelumnya harus menempuh jarak lima kilometer untuk beribadah, sehingga masjid baru ini menjadi solusi nyata.
Proyek serupa juga dilakukan di Moom, dekat Ludhiana, di mana komunitas Brahmin mendonasikan tanah dan komunitas Sikh menyediakan dana pembangunan masjid. Sikhs merupakan mayoritas di desa yang berusia 300 tahun ini, sementara jumlah Muslim dan Hindu masing-masing sekitar 400 orang.
Tidak hanya pembangunan masjid baru, komunitas Hindu dan Sikh juga turut merawat masjid-masjid lama yang ditinggalkan sejak Partition. Di desa Hedon Bet, misalnya, seorang Sikh bernama Prem Singh merawat masjid berusia lebih dari seratus tahun.
Tayyeb Hasan Falahi, mantan pejabat Punjab Waqf Board, menegaskan bahwa ratusan masjid telah direstorasi dengan dukungan komunitas non-Muslim di pedesaan Punjab selama dua dekade terakhir. Restorasi ini menjadi contoh nyata harmoni antaragama di wilayah tersebut.
Sebelum 1990, Waqf Board memberi lisensi kepada individu untuk mengelola masjid, namun fatwa baru membatasi lisensi tersebut. Akibatnya, banyak masjid ditinggalkan dan menjadi terbengkalai, bahkan dijadikan kandang atau gudang.
Waqf Board Punjab mencatat lebih dari seribu masjid dan 61 dargah di seluruh negara bagian. Namun, banyak masjid saat ini tidak berada di bawah pengawasan Board, melainkan dirawat oleh keluarga Muslim lokal jika ada.
Proyek restorasi ini menciptakan suasana akrab di seluruh Punjab. Masjid-masjid lama direstorasi dan yang baru dibangun, menegaskan bahwa agama bukanlah penghalang bagi kerja sama dan persaudaraan antarwarga.
Menurut Abdul Shakoor, mantan Ameer Jamaat-e-Islami Hind Punjab, umat Muslim di wilayah ini kini berani melampaui rasa takut pasca-Partition. Lebih dari 165 masjid telah direstorasi, memperlihatkan keterbukaan komunitas dan keharmonisan sosial.
Punjab menjadi contoh bagi seluruh India, menunjukkan bahwa pembangunan dan restorasi masjid dapat berjalan harmonis meski ada tantangan ideologi. Langkah ini menegaskan bahwa pluralisme, toleransi, dan kerja sama lintas agama tetap mungkin diwujudkan di era modern.
loading...
Thursday, September 4, 2025
Para Pengusaha Tulang Punggung Ekonomi Suriah
internasional
12:48:00 PM
Di masa lalu, rezim Suriah telah lama menjalin hubungan dekat dengan sektor swasta, khususnya para pengusaha Sunni yang dominan di perkotaan. Sejak era kepemimpinan Hafez al-Assad pada tahun 1970, rezim ini mengimplementasikan kebijakan liberalisasi ekonomi secara bertahap untuk memenangkan dukungan dan kolaborasi dari para pebisnis. Aliansi ini tidak hanya bertujuan untuk menopang ekonomi, tetapi juga untuk mengkonsolidasikan kekuasaan politik melalui mekanisme patronase dan klientelisme. Para pebisnis yang dulunya dianggap sebagai ancaman, lambat laun menjadi bagian penting dari fondasi kekuasaan rezim, terintegrasi dalam berbagai institusi negara dan menjadi penopang utama stabilitas ekonomi.
Hubungan simbiotik ini semakin diperdalam dan diperkuat di bawah kepemimpinan Bashar al-Assad sejak tahun 2000. Kebijakan neoliberal yang semakin gencar dan proses privatisasi yang mendalam menciptakan monopoli baru yang dikendalikan oleh kroni-kroni rezim, yang didominasi oleh keluarga Assad-Makhluf-Shalish. Struktur kekuasaan yang patrimonial ini memperkuat peran keluarga penguasa dalam urusan negara, menciptakan apa yang dikenal sebagai kapitalisme kroni. Di sini, individu-individu yang dekat dengan lingkaran kekuasaan memanfaatkan posisi dominan mereka untuk mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar, menjadikan bisnis sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan politik.
Salah satu figur yang paling menonjol dari kapitalisme kroni ini adalah Rami Makhluf, sepupu Bashar al-Assad. Dengan kekaisaran ekonominya yang luas, mencakup telekomunikasi, perbankan, dan properti, Makhluf menjadi simbol dari proses privatisasi ala mafia yang dipimpin oleh rezim. Ia adalah pemegang saham utama di perusahaan-perusahaan besar seperti Cham Holding Company, yang menjadi instrumen utama bagi elit negara untuk melakukan bisnis dengan para borjuis komersial baru. Keterlibatan para pengusaha ini menunjukkan bagaimana rezim mengendalikan pasar untuk memperkuat jaringan loyalitasnya.
Selain lingkaran dalam, rezim juga merekrut pengusaha Sunni terkemuka seperti Mohammad Saber Hamsho, yang menjadi tokoh politik dan ekonomi penting berkat hubungannya dengan Maher al-Assad, adik Bashar. Hamsho bahkan terpilih sebagai anggota parlemen, menunjukkan betapa pentingnya afiliasi pribadi dalam sistem ini. Contoh lain termasuk keluarga Tlass dan Khaddam, yang dulunya adalah pejabat negara tetapi kemudian beralih menjadi pengusaha swasta yang sukses, mengokohkan aliansi antara elit lama dan borjuis baru.
Pada era Bashar al-Assad, jumlah asosiasi bisnis meningkat pesat, sering kali dalam bentuk usaha patungan antara pebisnis lokal dan entitas asing. Usaha-usaha ini umumnya dikendalikan oleh mereka yang memiliki hubungan erat dengan rezim. Figur seperti Imad Ghreiwati, yang memimpin Kamar Industri, dan Bassam Ghrawi, yang menjabat sebagai sekretaris jenderal Kamar Dagang Damaskus, menunjukkan bagaimana kekuasaan ekonomi dan politik saling terkait erat.
Sistem ini, yang mengandalkan loyalitas dan hubungan pribadi, secara efektif meminggirkan bagian-bagian dari borjuasi yang tidak memiliki koneksi yang memadai. Menurut sebuah analisis yang diterbitkan pada tahun 2011, mayoritas pengusaha terkemuka di Suriah memiliki latar belakang Sunni, namun mayoritas dari 10 pengusaha terkaya adalah Alawi atau memiliki hubungan erat dengan keluarga Assad. Ini menyoroti bagaimana rezim, meskipun bekerja sama dengan borjuis Sunni, tetap memastikan bahwa kekuasaan ekonomi inti berada di tangan lingkaran dalam.
Ketika gejolak sosial meletus pada tahun 2011, aliansi antara rezim dan para pengusaha ini tidak goyah. Sebaliknya, mereka memainkan peran yang semakin penting dalam menopang kekuasaan. Para pengusaha ini mendanai kampanye propaganda rezim dan bahkan membentuk milisi untuk membela pemerintah. Sanksi internasional yang dijatuhkan justru memperkuat hubungan mereka, karena para pesaing yang melarikan diri dari Suriah meninggalkan kekosongan yang dapat mereka manfaatkan.
Rezime mengambil tindakan keras terhadap para pengusaha yang dianggap tidak loyal, bahkan jika mereka tidak secara terbuka mendukung oposisi. Kasus-kasus seperti penyitaan aset keluarga Ghreiwati dan Muwaffaq Al-Gaddah menunjukkan bahwa bahkan sikap "tunggu dan lihat" tidak cukup untuk menjamin perlindungan. Hukuman ini berfungsi sebagai peringatan bagi siapa pun yang mungkin mempertimbangkan untuk membelot, memperkuat kontrol rezim atas sektor bisnis.
Sementara itu, banyak pengusaha tradisional dan mereka yang tidak memiliki hubungan dekat dengan rezim memilih untuk meninggalkan Suriah, membawa modal mereka ke luar negeri. Penarikan dana besar-besaran dari bank Suriah menunjukkan ketidakpastian yang meluas di kalangan elit bisnis. Negara-negara tetangga, seperti Turki, Yordania, dan Uni Emirat Arab, diuntungkan dari arus modal ini, sementara basis ekonomi Suriah sendiri semakin terkikis.
Di tengah kekacauan ini, sebuah generasi pengusaha baru muncul, seringkali dari kalangan "orang luar" yang berhasil mengumpulkan kekayaan selama perang. Mereka adalah pemain kunci dalam "ekonomi perang" yang muncul, membangun kekayaan mereka dengan memanfaatkan kekacauan dan koneksi baru. Figur-figur ini akan menjadi tulang punggung dari rekonstruksi Suriah di masa depan, baik dengan perusahaan lama mereka atau melalui entitas baru yang diciptakan untuk tujuan ini.
Salah satu "bintang yang sedang naik daun" yang paling penting adalah Samer Foz, seorang pengusaha Sunni dari Latakia. Berkat hubungannya yang dekat dengan Bashar al-Assad, Foz membeli aset-aset milik para pengusaha yang melarikan diri dengan harga murah dan mendapatkan kontrak-kontrak pemerintah yang sangat menguntungkan. Perusahaannya, Aman Group, menjadi pemain utama dalam perdagangan komoditas dan proyek-proyek real estat, menunjukkan bagaimana kekayaan baru dapat diperoleh dari kekacauan.
i
Foz tidak hanya membangun kekaisaran bisnisnya, tetapi juga memperluas pengaruhnya melalui kegiatan filantropi, mendirikan asosiasi amal di Latakia. Ia juga dituduh mendanai milisi paramiliter, Military Security Shield Forces, yang berafiliasi dengan intelijen militer. Hal ini menunjukkan bahwa para pengusaha baru ini tidak hanya berinvestasi dalam ekonomi, tetapi juga dalam infrastruktur keamanan yang menopang rezim.
Pada Agustus 2017, Aman Group mengumumkan partisipasinya dalam proyek rekonstruksi area Basateen Al-Razi di Damaskus, sebuah proyek bernilai miliaran dolar. Proyek ini menunjukkan bahwa para pengusaha seperti Foz berada di garis depan rencana rekonstruksi pasca-perang, yang akan menjadi sumber kekayaan dan kekuasaan yang tak terbayangkan. Foz, melalui perusahaannya Aman Damascus, telah mengamankan hak untuk mengembangkan properti senilai sekitar 312 juta dolar di area tersebut, menggarisbawahi posisinya sebagai penguasa baru dalam lanskap bisnis Suriah.
Figur lain yang patut dicatat adalah Husam Qaterji, seorang pedagang dari Aleppo yang menjadi makelar untuk perdagangan minyak dan sereal antara rezim, Kurdi, dan bahkan Negara Islam (IS). Ia mendapatkan keuntungan besar dari perang dan kemudian diberi hadiah berupa kursi di parlemen. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya perdagangan ilegal dalam ekonomi perang dan bagaimana individu yang menguntungkan rezim diberi imbalan dengan kekuasaan politik.
Muhyaddin Al-Manfush, yang dikenal sebagai Abu Ayman, adalah contoh lain dari seorang pedagang yang naik daun. Ia menjadi penyelundup utama di provinsi Damaskus, menyediakan makanan dan bahan bakar ke Ghuta Timur yang terkepung. Dengan memanfaatkan hubungan pribadinya dengan pejabat rezim, ia berhasil mengumpulkan kekayaan besar dan bahkan mendirikan milisi pribadinya sendiri. Keberhasilannya menunjukkan bahwa ekonomi perang telah menciptakan panglima-panglima perang yang menjalankan bisnis, yang akan memiliki peran penting dalam rekonstruksi.
Perubahan dalam lanskap bisnis juga terlihat di kamar dagang dan industri. Pada akhir 2014, mayoritas anggota dewan terpilih di Aleppo dan Damaskus adalah pengusaha baru yang tidak dikenal sebelum pemberontakan. Perubahan ini mencerminkan pergeseran signifikan dalam basis kekuatan rezim, dari elit lama ke wajah-wajah baru yang setia dan teruji dalam api perang. Pemilihan parlemen 2016 juga menunjukkan tren serupa, dengan 70 persen deputi digantikan oleh pendatang baru.
Kesimpulannya, kolaborasi antara rezim dan para pengusaha Sunni telah dipertahankan, meskipun dengan wajah-wajah baru. Loyalitas menjadi faktor penentu utama, dan kegagalan untuk setia akan berujung pada hukuman yang berat. Rezim tidak menentang populasi Sunni secara keseluruhan, tetapi hanya mereka yang dianggap sebagai musuh, yang sebagian besar berasal dari kalangan rakyat miskin di pedesaan dan kota-kota kecil.
Rezim telah berhasil memecah belah populasi dengan menggunakan sektarianisme sebagai alat dominasi. Dengan menggambarkan pemberontakan sebagai konspirasi asing yang dipimpin oleh jihadis, rezim berhasil mengikat minoritas agama dan kaum sekuler ke sisinya. Meskipun banyak warga sipil Sunni menjadi korban kekerasan, ini tidak berarti rezim secara keseluruhan menentang semua orang Sunni, karena basis dukungannya di Damaskus dan Aleppo serta milisi yang setia juga memiliki kehadiran Sunni yang signifikan.
Sektarianisme bagi rezim Suriah bukanlah tujuan, melainkan alat dominasi yang efektif. Hal ini juga membantu mengaburkan hubungan kelas yang ada dalam masyarakat Suriah. Memahami dinamika kekuasaan di Suriah memerlukan pendekatan yang hati-hati, yang tidak hanya melihat identitas agama dan etnis, tetapi juga hubungan kelas, regionalisme, dan patronase yang kompleks.
Pelajaran dari Suriah adalah bahwa rekonstruksi akan dipimpin oleh mereka yang muncul sebagai pemenang dari konflik. Para pengusaha baru ini, yang telah membuktikan loyalitas mereka kepada rezim melalui perang, akan menjadi tulang punggung pembangunan kembali. Mereka akan mendapatkan kontrak-kontrak besar dan membentuk perusahaan-perusahaan baru yang akan menjadi pilar ekonomi Suriah pasca-perang. Perusahaan-perusahaan ini, baik yang mempertahankan nama lama atau berganti nama, akan menjadi simbol dari kekuasaan baru dan ekonomi yang dibangun di atas reruntuhan.
loading...
Sudan dalam Dekapan Rekonstruksi: Mesir Ulurkan Tangan
internasional
12:17:00 PM
Mesir, sebagai tetangga terdekat Sudan, telah mengambil peran krusial di tengah gejolak perang saudara yang melumpuhkan. Di balik konflik yang memakan ribuan korban dan memaksa jutaan orang mengungsi, Kairo kini muncul sebagai salah satu aktor utama dalam upaya memulihkan kembali stabilitas dan infrastruktur Sudan. Peran ini tidak hanya terbatas pada diplomasi, tetapi juga menyentuh langsung aspek-aspek krusial seperti rekonstruksi jembatan-jembatan vital yang hancur. Upaya ini menunjukkan komitmen Kairo untuk membantu Sudan bangkit dari krisis yang telah berlangsung berlarut-larut.
Langkah konkret yang paling disorot adalah kedatangan tim teknis Mesir di Khartoum. Tim ini, yang diutus secara khusus, memiliki misi untuk memulai pekerjaan perbaikan pada Jembatan Shambat dan Halfaya. Kehadiran mereka di ibu kota Sudan selama beberapa hari terakhir adalah untuk melakukan studi teknis yang mendalam, sebuah prasyarat vital sebelum memulai proyek skala besar seperti ini. Perbaikan jembatan adalah simbol harapan yang kuat bagi penduduk Khartoum, yang telah menderita akibat kehancuran infrastruktur kota.
Jembatan Shambat dan Halfaya bukanlah sekadar jalur penghubung biasa. Kedua jembatan ini memiliki peran strategis yang sangat signifikan dalam dinamika militer dan kehidupan sehari-hari. Jembatan-jembatan ini menghubungkan tiga kota utama di Khartoum, yaitu Khartoum, Omdurman, dan Khartoum Utara. Mereka berfungsi sebagai arteri vital yang mengalirkan pergerakan manusia dan barang, baik untuk warga sipil maupun militer.
Selama konflik, Jembatan Shambat menjadi jalur pasokan utama bagi Pasukan Dukungan Cepat (RSF) untuk memindahkan pasukan dan logistik dari Omdurman ke Khartoum Utara. Pengendalian atas jembatan ini memberikan keuntungan taktis yang besar, sehingga kehancurannya menjadi kerugian signifikan bagi RSF. Kehilangan jalur penghubung ini secara efektif menghambat kemampuan mereka untuk bergerak dengan leluasa, memaksa mereka mencari rute alternatif yang lebih berbahaya.
Sementara itu, Jembatan Halfaya memiliki arti penting bagi Angkatan Bersenjata Sudan (SAF). Jembatan ini berada di bawah kendali SAF dan lokasinya yang dekat dengan Pangkalan Angkatan Darat dan Udara Karari menjadikannya aset militer yang tak ternilai. Dengan mengendalikan Halfaya, SAF dapat memastikan jalur pasokan dan pergerakan pasukan mereka tetap aman, menjadikannya target utama bagi pihak lawan.
Tindakan perusakan jembatan-jembatan ini menunjukkan betapa strategisnya infrastruktur dalam perang modern. Masing-masing pihak menuduh lawannya telah menghancurkan jembatan untuk mendapatkan keuntungan militer. Tuduhan ini menunjukkan bahwa kehancuran jembatan bukan hanya kecelakaan, tetapi sebuah keputusan taktis yang disengaja. Jembatan-jembatan ini adalah tulang punggung kota yang, ketika dipatahkan, melumpuhkan kehidupan dan logistik di sekitarnya.
Duta Besar Mesir untuk Sudan, Hani Salah, membawa kabar gembira yang sangat dinantikan oleh penduduk Khartoum. Dalam sebuah pernyataan resmi, ia memastikan bahwa tim teknis Mesir akan mempercepat perbaikan, pemeliharaan, dan rehabilitasi jembatan-jembatan tersebut. Janji ini bukan sekadar retorika, melainkan komitmen nyata yang sejalan dengan peran Mesir yang lebih luas dalam upaya damai di Sudan. Kairo berjanji bahwa jembatan-jembatan ini akan segera dapat beroperasi kembali, dengan tetap mempertahankan standar keselamatan yang diperlukan.
Selain inisiatif rekonstruksi, Mesir juga secara aktif terlibat dalam mediasi diplomatik untuk mengakhiri perang. Kairo telah menjadi tuan rumah pertemuan puncak yang dihadiri oleh para pemimpin regional, termasuk dari Ethiopia, Sudan Selatan, Chad, Eritrea, dan Republik Afrika Tengah. Tujuan dari pertemuan-pertemuan ini adalah untuk mencari cara menegakkan gencatan senjata yang efektif dan mengikat bagi semua pihak. Upaya diplomatik ini mencerminkan pandangan Mesir bahwa stabilitas di Sudan adalah kunci untuk mencegah krisis ini meluas ke seluruh kawasan.
Peran Mesir dalam upaya perdamaian ini sejalan dengan sejarah panjang hubungan antara kedua negara. Mesir menganggap keamanan dan stabilitas Sudan sebagai bagian integral dari keamanan nasionalnya sendiri. Krisis di Sudan telah menimbulkan kekhawatiran besar di Kairo, terutama terkait potensi gelombang pengungsi dan penyebaran ketidakstabilan ke perbatasan mereka. Oleh karena itu, Mesir berkomitmen penuh untuk mendukung penyelesaian damai.
Namun, Mesir tidak hanya membantu dari sisi diplomasi dan infrastruktur. Mesir telah menjadi negara penampung terbesar bagi pengungsi Sudan, yang melarikan diri dari kekerasan yang tak terhindarkan.
Sejak pecahnya perang, lebih dari satu juta warga Sudan mencari perlindungan di Mesir, menciptakan tekanan besar pada sumber daya dan infrastruktur Mesir yang sudah ada. Keadaan ini menunjukkan besarnya krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung dan bagaimana Mesir menjadi garda terdepan dalam meresponsnya.
Di tengah situasi ini, ada kabar baik mengenai kepulangan sebagian pengungsi Sudan dari Mesir. Pemerintah Mesir, dengan dukungan berbagai pihak, telah memfasilitasi proses ini. Mesir bahkan memberikan tiket kereta gratis kepada ratusan pengungsi Sudan untuk pulang ke tanah air mereka. Langkah ini disambut baik oleh banyak pihak, karena menunjukkan komitmen Mesir untuk tidak hanya menerima pengungsi tetapi juga membantu mereka kembali setelah situasi memungkinkan.
Perjalanan pulang ini bukanlah hal yang mudah. Rute dari Kairo ke Khartoum membentang sepanjang 2.080 kilometer. Perjalanan ini biasanya melibatkan perjalanan kereta selama 12 jam ke Aswan di Mesir selatan, sebelum kemudian dilanjutkan dengan kapal feri dan bus melintasi perbatasan. Meskipun sulit, harapan untuk kembali ke rumah mendorong para pengungsi untuk mengambil kesempatan ini.
Keputusan para pengungsi untuk kembali ke Sudan menunjukkan adanya keyakinan bahwa situasi di tanah air mereka mulai membaik. Meskipun perang belum sepenuhnya usai, upaya rekonstruksi dan diplomasi yang dilakukan oleh Mesir dan negara-negara lain memberikan secercah harapan. Kepulangan ini juga mengurangi beban yang ditanggung oleh Mesir sebagai negara penampung pengungsi.
Tentu saja, kepulangan pengungsi ini masih bersifat terbatas dan tidak mencakup seluruh populasi pengungsi Sudan di Mesir. Ribuan orang lainnya masih menunggu di Mesir, berharap keamanan di Sudan dapat pulih sepenuhnya. Proses ini juga menyoroti peran penting lembaga-lembaga internasional seperti UNHCR yang berkoordinasi dengan pemerintah Mesir untuk memastikan kepulangan yang aman dan bermartabat.
Mesir, dengan segala tantangan yang dihadapinya, telah menunjukkan solidaritasnya kepada Sudan. Keterlibatan Kairo dalam mediasi, rekonstruksi, dan dukungan kemanusiaan bagi pengungsi adalah cerminan dari hubungan persaudaraan yang mendalam antara kedua bangsa. Upaya Mesir dalam membantu membangun kembali jembatan yang hancur, menampung jutaan pengungsi, dan memfasilitasi kepulangan mereka adalah langkah-langkah nyata menuju pemulihan dan stabilitas di Sudan.
Kisah Jembatan Shambat dan Halfaya yang akan diperbaiki adalah metafora sempurna untuk harapan baru. Jembatan-jembatan yang hancur dan menjadi simbol perpecahan kini akan dibangun kembali, merepresentasikan penyatuan dan pemulihan. Proyek ini bukan hanya tentang beton dan baja, tetapi juga tentang membangun kembali kepercayaan dan koneksi di antara masyarakat yang terkoyak oleh perang.
Di masa depan, peran Mesir dalam rekonstruksi Sudan diperkirakan akan semakin mendalam. Selain perbaikan infrastruktur fisik, Mesir kemungkinan akan terlibat dalam proyek-proyek pembangunan lainnya, termasuk pemulihan layanan dasar dan dukungan ekonomi. Kemitraan antara kedua negara akan menjadi kunci untuk memastikan Sudan dapat bangkit kembali dan kembali menjadi negara yang damai dan stabil.
Namun, semua upaya ini tidak akan berhasil tanpa kerja sama dari semua pihak yang bertikai di Sudan. Resolusi damai hanya bisa tercapai jika ada komitmen dari Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) untuk meletakkan senjata dan bernegosiasi. Mesir dan komunitas internasional dapat membantu memfasilitasi, tetapi perdamaian sejati harus datang dari dalam.
Penting untuk diingat bahwa di balik angka dan laporan berita, ada jutaan cerita pribadi. Cerita tentang keluarga yang terpisah, rumah yang hancur, dan kehidupan yang terhenti. Jembatan-jembatan yang diperbaiki, kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak, dan tiket kereta gratis semuanya adalah bagian dari upaya besar untuk merajut kembali kehidupan yang terkoyak.
Langkah Mesir untuk membantu membangun kembali jembatan di Khartoum dan memfasilitasi kepulangan para pengungsi adalah bukti nyata dari peran Kairo sebagai "kakak" yang peduli. Bantuan ini menunjukkan bahwa Mesir tidak hanya mengkhawatirkan keamanan perbatasannya, tetapi juga peduli terhadap kesejahteraan rakyat Sudan.
Pada akhirnya, Jembatan Shambat dan Halfaya bukan hanya tentang infrastruktur fisik, melainkan tentang membangun kembali jembatan-jembatan manusia dan sosial. Rekonstruksi fisik yang dilakukan oleh Mesir adalah fondasi untuk rekonstruksi yang lebih besar: rekonstruksi masyarakat Sudan yang damai, bersatu, dan sejahtera.
Kairo Fasilitasi Pemulihan Sudan: Mesir Beri Tiket Pulang Pengungsi
Mesir, sebagai tetangga terdekat Sudan, telah mengambil peran krusial di tengah gejolak perang saudara yang melumpuhkan. Di balik konflik yang memakan ribuan korban dan memaksa jutaan orang mengungsi, Kairo kini muncul sebagai salah satu aktor utama dalam upaya memulihkan kembali stabilitas dan infrastruktur Sudan. Peran ini tidak hanya terbatas pada diplomasi, tetapi juga menyentuh langsung aspek-aspek krusial seperti rekonstruksi jembatan-jembatan vital yang hancur. Upaya ini menunjukkan komitmen Kairo untuk membantu Sudan bangkit dari krisis yang telah berlangsung berlarut-larut.
Langkah konkret yang paling disorot adalah kedatangan tim teknis Mesir di Khartoum. Tim ini, yang diutus secara khusus, memiliki misi untuk memulai pekerjaan perbaikan pada Jembatan Shambat dan Halfaya. Kehadiran mereka di ibu kota Sudan selama beberapa hari terakhir adalah untuk melakukan studi teknis yang mendalam, sebuah prasyarat vital sebelum memulai proyek skala besar seperti ini. Perbaikan jembatan adalah simbol harapan yang kuat bagi penduduk Khartoum, yang telah menderita akibat kehancuran infrastruktur kota.
Jembatan Shambat dan Halfaya bukanlah sekadar jalur penghubung biasa. Kedua jembatan ini memiliki peran strategis yang sangat signifikan dalam dinamika militer dan kehidupan sehari-hari. Jembatan-jembatan ini menghubungkan tiga kota utama di Khartoum, yaitu Khartoum, Omdurman, dan Khartoum Utara. Mereka berfungsi sebagai arteri vital yang mengalirkan pergerakan manusia dan barang, baik untuk warga sipil maupun militer.
Selama konflik, Jembatan Shambat menjadi jalur pasokan utama bagi Pasukan Dukungan Cepat (RSF) untuk memindahkan pasukan dan logistik dari Omdurman ke Khartoum Utara.
Pengendalian atas jembatan ini memberikan keuntungan taktis yang besar, sehingga kehancurannya menjadi kerugian signifikan bagi RSF. Kehilangan jalur penghubung ini secara efektif menghambat kemampuan mereka untuk bergerak dengan leluasa, memaksa mereka mencari rute alternatif yang lebih berbahaya.
Sementara itu, Jembatan Halfaya memiliki arti penting bagi Angkatan Bersenjata Sudan (SAF). Jembatan ini berada di bawah kendali SAF dan lokasinya yang dekat dengan Pangkalan Angkatan Darat dan Udara Karari menjadikannya aset militer yang tak ternilai. Dengan mengendalikan Halfaya, SAF dapat memastikan jalur pasokan dan pergerakan pasukan mereka tetap aman, menjadikannya target utama bagi pihak lawan.
Tindakan perusakan jembatan-jembatan ini menunjukkan betapa strategisnya infrastruktur dalam perang modern. Masing-masing pihak menuduh lawannya telah menghancurkan jembatan untuk mendapatkan keuntungan militer. Tuduhan ini menunjukkan bahwa kehancuran jembatan bukan hanya kecelakaan, tetapi sebuah keputusan taktis yang disengaja. Jembatan-jembatan ini adalah tulang punggung kota yang, ketika dipatahkan, melumpuhkan kehidupan dan logistik di sekitarnya.
Duta Besar Mesir untuk Sudan, Hani Salah, membawa kabar gembira yang sangat dinantikan oleh penduduk Khartoum. Dalam sebuah pernyataan resmi, ia memastikan bahwa tim teknis Mesir akan mempercepat perbaikan, pemeliharaan, dan rehabilitasi jembatan-jembatan tersebut. Janji ini bukan sekadar retorika, melainkan komitmen nyata yang sejalan dengan peran Mesir yang lebih luas dalam upaya damai di Sudan. Kairo berjanji bahwa jembatan-jembatan ini akan segera dapat beroperasi kembali, dengan tetap mempertahankan standar keselamatan yang diperlukan.
Selain inisiatif rekonstruksi, Mesir juga secara aktif terlibat dalam mediasi diplomatik untuk mengakhiri perang. Kairo telah menjadi tuan rumah pertemuan puncak yang dihadiri oleh para pemimpin regional, termasuk dari Ethiopia, Sudan Selatan, Chad, Eritrea, dan Republik Afrika Tengah. Tujuan dari pertemuan-pertemuan ini adalah untuk mencari cara menegakkan gencatan senjata yang efektif dan mengikat bagi semua pihak. Upaya diplomatik ini mencerminkan pandangan Mesir bahwa stabilitas di Sudan adalah kunci untuk mencegah krisis ini meluas ke seluruh kawasan.
Peran Mesir dalam upaya perdamaian ini sejalan dengan sejarah panjang hubungan antara kedua negara. Mesir menganggap keamanan dan stabilitas Sudan sebagai bagian integral dari keamanan nasionalnya sendiri. Krisis di Sudan telah menimbulkan kekhawatiran besar di Kairo, terutama terkait potensi gelombang pengungsi dan penyebaran ketidakstabilan ke perbatasan mereka. Oleh karena itu, Mesir berkomitmen penuh untuk mendukung penyelesaian damai.
Namun, Mesir tidak hanya membantu dari sisi diplomasi dan infrastruktur. Mesir telah menjadi negara penampung terbesar bagi pengungsi Sudan, yang melarikan diri dari kekerasan yang tak terhindarkan.
Sejak pecahnya perang, lebih dari satu juta warga Sudan mencari perlindungan di Mesir, menciptakan tekanan besar pada sumber daya dan infrastruktur Mesir yang sudah ada. Keadaan ini menunjukkan besarnya krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung dan bagaimana Mesir menjadi garda terdepan dalam meresponsnya.
Di tengah situasi ini, ada kabar baik mengenai kepulangan sebagian pengungsi Sudan dari Mesir. Pemerintah Mesir, dengan dukungan berbagai pihak, telah memfasilitasi proses ini. Mesir bahkan memberikan tiket kereta gratis kepada ratusan pengungsi Sudan untuk pulang ke tanah air mereka. Langkah ini disambut baik oleh banyak pihak, karena menunjukkan komitmen Mesir untuk tidak hanya menerima pengungsi tetapi juga membantu mereka kembali setelah situasi memungkinkan.
Perjalanan pulang ini bukanlah hal yang mudah. Rute dari Kairo ke Khartoum membentang sepanjang 2.080 kilometer. Perjalanan ini biasanya melibatkan perjalanan kereta selama 12 jam ke Aswan di Mesir selatan, sebelum kemudian dilanjutkan dengan kapal feri dan bus melintasi perbatasan. Meskipun sulit, harapan untuk kembali ke rumah mendorong para pengungsi untuk mengambil kesempatan ini.
Keputusan para pengungsi untuk kembali ke Sudan menunjukkan adanya keyakinan bahwa situasi di tanah air mereka mulai membaik. Meskipun perang belum sepenuhnya usai, upaya rekonstruksi dan diplomasi yang dilakukan oleh Mesir dan negara-negara lain memberikan secercah harapan. Kepulangan ini juga mengurangi beban yang ditanggung oleh Mesir sebagai negara penampung pengungsi.
Tentu saja, kepulangan pengungsi ini masih bersifat terbatas dan tidak mencakup seluruh populasi pengungsi Sudan di Mesir. Ribuan orang lainnya masih menunggu di Mesir, berharap keamanan di Sudan dapat pulih sepenuhnya. Proses ini juga menyoroti peran penting lembaga-lembaga internasional seperti UNHCR yang berkoordinasi dengan pemerintah Mesir untuk memastikan kepulangan yang aman dan bermartabat.
Mesir, dengan segala tantangan yang dihadapinya, telah menunjukkan solidaritasnya kepada Sudan. Keterlibatan Kairo dalam mediasi, rekonstruksi, dan dukungan kemanusiaan bagi pengungsi adalah cerminan dari hubungan persaudaraan yang mendalam antara kedua bangsa. Upaya Mesir dalam membantu membangun kembali jembatan yang hancur, menampung jutaan pengungsi, dan memfasilitasi kepulangan mereka adalah langkah-langkah nyata menuju pemulihan dan stabilitas di Sudan.
Kisah Jembatan Shambat dan Halfaya yang akan diperbaiki adalah metafora sempurna untuk harapan baru. Jembatan-jembatan yang hancur dan menjadi simbol perpecahan kini akan dibangun kembali, merepresentasikan penyatuan dan pemulihan. Proyek ini bukan hanya tentang beton dan baja, tetapi juga tentang membangun kembali kepercayaan dan koneksi di antara masyarakat yang terkoyak oleh perang.
Di masa depan, peran Mesir dalam rekonstruksi Sudan diperkirakan akan semakin mendalam. Selain perbaikan infrastruktur fisik, Mesir kemungkinan akan terlibat dalam proyek-proyek pembangunan lainnya, termasuk pemulihan layanan dasar dan dukungan ekonomi. Kemitraan antara kedua negara akan menjadi kunci untuk memastikan Sudan dapat bangkit kembali dan kembali menjadi negara yang damai dan stabil.
Namun, semua upaya ini tidak akan berhasil tanpa kerja sama dari semua pihak yang bertikai di Sudan. Resolusi damai hanya bisa tercapai jika ada komitmen dari Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) untuk meletakkan senjata dan bernegosiasi. Mesir dan komunitas internasional dapat membantu memfasilitasi, tetapi perdamaian sejati harus datang dari dalam.
Penting untuk diingat bahwa di balik angka dan laporan berita, ada jutaan cerita pribadi. Cerita tentang keluarga yang terpisah, rumah yang hancur, dan kehidupan yang terhenti. Jembatan-jembatan yang diperbaiki, kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak, dan tiket kereta gratis semuanya adalah bagian dari upaya besar untuk merajut kembali kehidupan yang terkoyak.
Langkah Mesir untuk membantu membangun kembali jembatan di Khartoum dan memfasilitasi kepulangan para pengungsi adalah bukti nyata dari peran Kairo sebagai "kakak" yang peduli. Dulu, Sudan termasuk Sudan Selatan merupakan bagian dari Mesir. Bantuan ini menunjukkan bahwa Mesir tidak hanya mengkhawatirkan keamanan perbatasannya, tetapi juga peduli terhadap kesejahteraan rakyat Sudan.
Pada akhirnya, Jembatan Shambat dan Halfaya bukan hanya tentang infrastruktur fisik, melainkan tentang membangun kembali jembatan-jembatan manusia dan sosial. Rekonstruksi fisik yang dilakukan oleh Mesir adalah fondasi untuk rekonstruksi yang lebih besar: rekonstruksi masyarakat Sudan yang damai, bersatu, dan sejahtera.
loading...
Tuesday, September 2, 2025
Di Sudan, Terdapat Puluhan 'Negara Mini' yang Dikuasai Suku dan Parpol
internasional
9:56:00 PM
Meski saat ini, sulit untuk memberikan angka pasti mengenai jumlah wilayah yang dikuasai milisi di Sudan dan dapat dianggap sebagai "negara-mini", situasi di lapangan sangat dinamis dan terus berubah, terutama sejak pecahnya perang saudara antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pada April 2023. Namun, dapat dijelaskan secara luas bahwa ada dua kekuatan utama dan beberapa faksi milisi yang memiliki kendali de facto atas wilayah-wilayah kunci, yang beroperasi dengan campur tangan pemerintah pusat yang sangat terbatas.
Saat ini, RSF dapat dianggap sebagai penguasa de facto atas sebagian besar Ibu Kota Khartoum serta wilayah-wilayah strategis di Darfur. Di Khartoum, RSF menguasai sebagian besar infrastruktur vital dan distrik-distrik utama. Kendali mereka sangat kuat di pusat kota, bandara, dan jembatan, yang secara efektif melumpuhkan pemerintahan pusat.
Di sisi lain, SAF memiliki kendali atas wilayah-wilayah penting lainnya. Mereka mempertahankan kendali di Port Sudan, kota pelabuhan utama di Laut Merah, yang telah menjadi markas sementara pemerintahan. Selain itu, SAF juga menguasai sebagian besar wilayah utara dan timur Sudan, di mana pengaruh RSF relatif lebih kecil. Pertempuran terus-menerus terjadi untuk merebut kembali wilayah-wilayah strategis dari RSF.
Selain dua kekuatan utama ini, wilayah-wilayah lain dikendalikan oleh berbagai faksi milisi yang lebih kecil. Di Darfur, misalnya, berbagai faksi SLA (Sudan Liberation Army) masih memegang kendali atas benteng tradisional mereka.
SLA/Abdel Wahid (SLA/AW) menguasai Jebel Marra. Meskipun beberapa faksi SLA telah bersekutu dengan RSF atau SAF, mereka sering beroperasi dengan otonomi yang signifikan.
Ada juga daerah-daerah lain di luar Darfur di mana kelompok-kelompok bersenjata beroperasi dengan campur tangan pemerintah yang minimal. Misalnya, Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan-Utara (SPLM-N) memiliki kendali atas wilayah-wilayah penting di Kordofan Selatan dan Nil Biru. Kelompok-kelompok ini, yang telah berjuang melawan Khartoum selama bertahun-tahun, kini memanfaatkan kekacauan untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka.
Secara ringkas, daripada menghitung jumlah "negara mini," lebih akurat untuk memahami bahwa Sudan terbagi menjadi beberapa zona pengaruh:
* Wilayah di bawah kendali RSF, yang beroperasi sebagai entitas militer otonom.
* Wilayah di bawah kendali SAF, yang berusaha mempertahankan legitimasi dan kendali pemerintah.
* Wilayah yang dikuasai oleh faksi-faksi pemberontak lainnya, yang memiliki agenda mereka sendiri dan kadang-kadang bersekutu dengan salah satu pihak utama.
Pada dasarnya, setiap zona ini, dengan milisi atau kekuatan bersenjata yang menguasainya, dapat dianggap sebagai "negara mini" karena mereka menjalankan kontrol atas populasi, sumber daya, dan keamanan mereka sendiri, dengan campur tangan yang sangat terbatas atau bahkan tidak ada dari otoritas pusat.
Secara definitif, tidak mungkin untuk menyatakan bahwa jumlah wilayah yang dikuasai milisi maupun suku di Sudan berada di bawah 10. Angka ini tidak bisa dipastikan karena berbagai alasan kompleks.
Pertama, "wilayah yang dikuasai milisi" bukanlah konsep yang mudah diukur. Kekuasaan dapat bersifat parsial, sementara, atau terbatas pada rute pasokan utama. Sebuah milisi mungkin mengendalikan sebuah kota di siang hari, tetapi terpaksa mundur di malam hari.
Kedua, seperti yang dijelaskan sebelumnya, konflik antara RSF dan SAF telah membagi Sudan secara de facto menjadi dua wilayah utama di bawah kendali dua kekuatan militer terbesar ini.
Namun, di dalam wilayah-wilayah tersebut, terdapat kantong-kantong kecil yang dikuasai oleh faksi-faksi pemberontak lainnya yang lebih kecil. Masing-masing kantong ini, seperti Jebel Marra di bawah SLA/Abdel Wahid atau wilayah di Kordofan Selatan di bawah SPLM-N, juga dapat dianggap sebagai wilayah yang dikuasai secara independen.
Oleh karena itu, meskipun jumlah "negara mini" besar yang menonjol mungkin kurang dari 10, jumlah total area di Sudan yang memiliki campur tangan pemerintah minimal, bahkan tidak ada, kemungkinan jauh lebih besar dari angka tersebut.
Mirip Myanmar?
Membandingkan situasi di Sudan dengan Myanmar memang menarik karena keduanya menunjukkan beberapa kemiripan, terutama dalam hal pecahnya otoritas pemerintah pusat dan munculnya "negara-mini" yang dikendalikan oleh milisi. Namun, ada juga perbedaan signifikan yang membuat konflik mereka unik.
Berikut adalah beberapa poin perbandingan antara situasi di Sudan dan Myanmar:
Kemiripan:
* Fragmentasi Otoritas: Baik Sudan maupun Myanmar telah melihat otoritas pemerintah pusat yang lemah dan terpecah belah. Di Sudan, konflik utama adalah antara dua faksi militer, SAF dan RSF, yang masing-masing menguasai wilayah yang luas. Di Myanmar, junta militer (Tatmadaw) berjuang untuk mempertahankan kendali atas wilayah mereka melawan koalisi besar dari kelompok etnis bersenjata (EAOs) dan Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF). Dalam kedua kasus, kontrol teritorial sangat terfragmentasi.
* Munculnya "Negara Mini": Di kedua negara, kelompok-kelompok bersenjata telah mengambil alih wilayah-wilayah tertentu dan menjalankan pemerintahan mereka sendiri, lengkap dengan administrasi, pajak, dan penegakan hukum yang berbeda. Di Sudan, SLA/AW di Jebel Marra dan SPLM-N di Kordofan Selatan dan Nil Biru adalah contoh utamanya. Di Myanmar, EAOs telah lama mengendalikan wilayah-wilayah perbatasan, dan konflik pasca-kudeta telah memungkinkan mereka untuk merebut lebih banyak kota dan desa. Mereka bahkan mendirikan pemerintah lokal dan pengadilan mereka sendiri.
* Aktor Non-Negara yang Kuat: Baik RSF di Sudan maupun berbagai EAOs dan PDF di Myanmar adalah aktor non-negara yang kuat dan terorganisir. Mereka memiliki kemampuan militer yang signifikan dan jaringan dukungan yang memungkinkan mereka menantang militer nasional secara efektif.
* Krisis Kemanusiaan: Kedua konflik telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah, dengan jutaan orang mengungsi, kekurangan pangan, dan terputusnya akses bantuan. Pertempuran yang tidak mempedulikan warga sipil dan serangan yang ditargetkan pada infrastruktur dasar adalah karakteristik umum di kedua negara.
Perbedaan:
* Sifat Konflik Utama: Konflik di Sudan saat ini adalah pertarungan untuk kekuasaan antara dua jenderal yang sebelumnya bersekutu. Meskipun ada faksi pemberontak lain, inti dari konflik adalah persaingan antara dua kekuatan militer terbesar, yang secara efektif membagi negara. Sebaliknya, konflik di Myanmar adalah pertarungan yang jauh lebih terfragmentasi. Ini bukan hanya pertarungan antara junta militer dan satu kelompok oposisi, melainkan pertarungan multi-pihak yang melibatkan puluhan EAOs yang berbeda, Pasukan Pertahanan Rakyat yang berafiliasi dengan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), dan milisi pro-junta.
* Sejarah Perjuangan: Konflik di Myanmar memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sering disebut sebagai "perang saudara terpanjang di dunia." Kelompok etnis bersenjata telah berjuang untuk otonomi dan hak-hak federal selama beberapa dekade. Kudeta tahun 2021 hanya memicu babak baru dalam perjuangan ini, yang kini mencakup kelompok-kelompok pro-demokrasi yang lebih luas. Konflik di Sudan, meskipun berakar pada ketidakadilan historis, telah meningkat secara dramatis menjadi perang habis-habisan dalam beberapa tahun terakhir.
* Tujuan Kelompok Bersenjata: Kelompok etnis bersenjata di Myanmar memiliki tuntutan yang beragam, mulai dari otonomi hingga federalisme sejati. Mereka berjuang untuk merebut kembali wilayah nenek moyang mereka dan melindungi masyarakat mereka dari Tatmadaw. Di Sudan, meskipun kelompok-kelompok seperti SLA memiliki tuntutan yang sama, konflik utama antara SAF dan RSF pada dasarnya adalah perebutan kekuasaan politik dan ekonomi.
* Skala Kendali Teritorial: Meskipun kedua negara mengalami fragmentasi, tingkat hilangnya kendali pemerintah pusat di Myanmar tampaknya jauh lebih besar. Berbagai laporan menunjukkan bahwa junta militer telah kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah perbatasan dan ratusan kota. Ini menunjukkan bahwa militer Myanmar sedang dalam posisi yang jauh lebih defensif dibandingkan dengan RSF atau SAF yang masih berjuang untuk merebut kembali wilayah secara ofensif.
Kesimpulannya, meskipun Sudan dan Myanmar memiliki kemiripan yang mencolok dalam hal fragmentasi kekuasaan dan munculnya "negara-mini" yang dikuasai milisi, konflik mereka berbeda dalam hal aktor-aktor yang terlibat, sejarah, dan dinamika yang mendasarinya.
loading...
Subscribe to:
Comments (Atom)
Popular In Week
-
Blog Lowongan Kerja berusaha membantu anda dalam mencari kerja. Masukkan resume dan CV anda ke data kami, kirim ke redaksi.dekho@gmail....
-
Dear professionals, Our MNC client in Hong Kong urgently in need of following professionals: Position: DB2 DBA Experience (in yrs) : 4 - 6 y...
-
Meski saat ini, sulit untuk memberikan angka pasti mengenai jumlah wilayah yang dikuasai milisi di Sudan dan dapat dianggap seba...
-
Punjab kini menjadi sorotan nasional karena menampilkan harmoni antaragama yang jarang terlihat di negara lain. Sementara di ban...