Di masa lalu, rezim Suriah telah lama menjalin hubungan dekat dengan sektor swasta, khususnya para pengusaha Sunni yang dominan di perkotaan. Sejak era kepemimpinan Hafez al-Assad pada tahun 1970, rezim ini mengimplementasikan kebijakan liberalisasi ekonomi secara bertahap untuk memenangkan dukungan dan kolaborasi dari para pebisnis. Aliansi ini tidak hanya bertujuan untuk menopang ekonomi, tetapi juga untuk mengkonsolidasikan kekuasaan politik melalui mekanisme patronase dan klientelisme. Para pebisnis yang dulunya dianggap sebagai ancaman, lambat laun menjadi bagian penting dari fondasi kekuasaan rezim, terintegrasi dalam berbagai institusi negara dan menjadi penopang utama stabilitas ekonomi.
Hubungan simbiotik ini semakin diperdalam dan diperkuat di bawah kepemimpinan Bashar al-Assad sejak tahun 2000. Kebijakan neoliberal yang semakin gencar dan proses privatisasi yang mendalam menciptakan monopoli baru yang dikendalikan oleh kroni-kroni rezim, yang didominasi oleh keluarga Assad-Makhluf-Shalish. Struktur kekuasaan yang patrimonial ini memperkuat peran keluarga penguasa dalam urusan negara, menciptakan apa yang dikenal sebagai kapitalisme kroni. Di sini, individu-individu yang dekat dengan lingkaran kekuasaan memanfaatkan posisi dominan mereka untuk mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar, menjadikan bisnis sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan politik.
Salah satu figur yang paling menonjol dari kapitalisme kroni ini adalah Rami Makhluf, sepupu Bashar al-Assad. Dengan kekaisaran ekonominya yang luas, mencakup telekomunikasi, perbankan, dan properti, Makhluf menjadi simbol dari proses privatisasi ala mafia yang dipimpin oleh rezim. Ia adalah pemegang saham utama di perusahaan-perusahaan besar seperti Cham Holding Company, yang menjadi instrumen utama bagi elit negara untuk melakukan bisnis dengan para borjuis komersial baru. Keterlibatan para pengusaha ini menunjukkan bagaimana rezim mengendalikan pasar untuk memperkuat jaringan loyalitasnya.
Selain lingkaran dalam, rezim juga merekrut pengusaha Sunni terkemuka seperti Mohammad Saber Hamsho, yang menjadi tokoh politik dan ekonomi penting berkat hubungannya dengan Maher al-Assad, adik Bashar. Hamsho bahkan terpilih sebagai anggota parlemen, menunjukkan betapa pentingnya afiliasi pribadi dalam sistem ini. Contoh lain termasuk keluarga Tlass dan Khaddam, yang dulunya adalah pejabat negara tetapi kemudian beralih menjadi pengusaha swasta yang sukses, mengokohkan aliansi antara elit lama dan borjuis baru.
Pada era Bashar al-Assad, jumlah asosiasi bisnis meningkat pesat, sering kali dalam bentuk usaha patungan antara pebisnis lokal dan entitas asing. Usaha-usaha ini umumnya dikendalikan oleh mereka yang memiliki hubungan erat dengan rezim. Figur seperti Imad Ghreiwati, yang memimpin Kamar Industri, dan Bassam Ghrawi, yang menjabat sebagai sekretaris jenderal Kamar Dagang Damaskus, menunjukkan bagaimana kekuasaan ekonomi dan politik saling terkait erat.
Sistem ini, yang mengandalkan loyalitas dan hubungan pribadi, secara efektif meminggirkan bagian-bagian dari borjuasi yang tidak memiliki koneksi yang memadai. Menurut sebuah analisis yang diterbitkan pada tahun 2011, mayoritas pengusaha terkemuka di Suriah memiliki latar belakang Sunni, namun mayoritas dari 10 pengusaha terkaya adalah Alawi atau memiliki hubungan erat dengan keluarga Assad. Ini menyoroti bagaimana rezim, meskipun bekerja sama dengan borjuis Sunni, tetap memastikan bahwa kekuasaan ekonomi inti berada di tangan lingkaran dalam.
Ketika gejolak sosial meletus pada tahun 2011, aliansi antara rezim dan para pengusaha ini tidak goyah. Sebaliknya, mereka memainkan peran yang semakin penting dalam menopang kekuasaan. Para pengusaha ini mendanai kampanye propaganda rezim dan bahkan membentuk milisi untuk membela pemerintah. Sanksi internasional yang dijatuhkan justru memperkuat hubungan mereka, karena para pesaing yang melarikan diri dari Suriah meninggalkan kekosongan yang dapat mereka manfaatkan.
Rezime mengambil tindakan keras terhadap para pengusaha yang dianggap tidak loyal, bahkan jika mereka tidak secara terbuka mendukung oposisi. Kasus-kasus seperti penyitaan aset keluarga Ghreiwati dan Muwaffaq Al-Gaddah menunjukkan bahwa bahkan sikap "tunggu dan lihat" tidak cukup untuk menjamin perlindungan. Hukuman ini berfungsi sebagai peringatan bagi siapa pun yang mungkin mempertimbangkan untuk membelot, memperkuat kontrol rezim atas sektor bisnis.
Sementara itu, banyak pengusaha tradisional dan mereka yang tidak memiliki hubungan dekat dengan rezim memilih untuk meninggalkan Suriah, membawa modal mereka ke luar negeri. Penarikan dana besar-besaran dari bank Suriah menunjukkan ketidakpastian yang meluas di kalangan elit bisnis. Negara-negara tetangga, seperti Turki, Yordania, dan Uni Emirat Arab, diuntungkan dari arus modal ini, sementara basis ekonomi Suriah sendiri semakin terkikis.
Di tengah kekacauan ini, sebuah generasi pengusaha baru muncul, seringkali dari kalangan "orang luar" yang berhasil mengumpulkan kekayaan selama perang. Mereka adalah pemain kunci dalam "ekonomi perang" yang muncul, membangun kekayaan mereka dengan memanfaatkan kekacauan dan koneksi baru. Figur-figur ini akan menjadi tulang punggung dari rekonstruksi Suriah di masa depan, baik dengan perusahaan lama mereka atau melalui entitas baru yang diciptakan untuk tujuan ini.
Salah satu "bintang yang sedang naik daun" yang paling penting adalah Samer Foz, seorang pengusaha Sunni dari Latakia. Berkat hubungannya yang dekat dengan Bashar al-Assad, Foz membeli aset-aset milik para pengusaha yang melarikan diri dengan harga murah dan mendapatkan kontrak-kontrak pemerintah yang sangat menguntungkan. Perusahaannya, Aman Group, menjadi pemain utama dalam perdagangan komoditas dan proyek-proyek real estat, menunjukkan bagaimana kekayaan baru dapat diperoleh dari kekacauan.
i
Foz tidak hanya membangun kekaisaran bisnisnya, tetapi juga memperluas pengaruhnya melalui kegiatan filantropi, mendirikan asosiasi amal di Latakia. Ia juga dituduh mendanai milisi paramiliter, Military Security Shield Forces, yang berafiliasi dengan intelijen militer. Hal ini menunjukkan bahwa para pengusaha baru ini tidak hanya berinvestasi dalam ekonomi, tetapi juga dalam infrastruktur keamanan yang menopang rezim.
Pada Agustus 2017, Aman Group mengumumkan partisipasinya dalam proyek rekonstruksi area Basateen Al-Razi di Damaskus, sebuah proyek bernilai miliaran dolar. Proyek ini menunjukkan bahwa para pengusaha seperti Foz berada di garis depan rencana rekonstruksi pasca-perang, yang akan menjadi sumber kekayaan dan kekuasaan yang tak terbayangkan. Foz, melalui perusahaannya Aman Damascus, telah mengamankan hak untuk mengembangkan properti senilai sekitar 312 juta dolar di area tersebut, menggarisbawahi posisinya sebagai penguasa baru dalam lanskap bisnis Suriah.
Figur lain yang patut dicatat adalah Husam Qaterji, seorang pedagang dari Aleppo yang menjadi makelar untuk perdagangan minyak dan sereal antara rezim, Kurdi, dan bahkan Negara Islam (IS). Ia mendapatkan keuntungan besar dari perang dan kemudian diberi hadiah berupa kursi di parlemen. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya perdagangan ilegal dalam ekonomi perang dan bagaimana individu yang menguntungkan rezim diberi imbalan dengan kekuasaan politik.
Muhyaddin Al-Manfush, yang dikenal sebagai Abu Ayman, adalah contoh lain dari seorang pedagang yang naik daun. Ia menjadi penyelundup utama di provinsi Damaskus, menyediakan makanan dan bahan bakar ke Ghuta Timur yang terkepung. Dengan memanfaatkan hubungan pribadinya dengan pejabat rezim, ia berhasil mengumpulkan kekayaan besar dan bahkan mendirikan milisi pribadinya sendiri. Keberhasilannya menunjukkan bahwa ekonomi perang telah menciptakan panglima-panglima perang yang menjalankan bisnis, yang akan memiliki peran penting dalam rekonstruksi.
Perubahan dalam lanskap bisnis juga terlihat di kamar dagang dan industri. Pada akhir 2014, mayoritas anggota dewan terpilih di Aleppo dan Damaskus adalah pengusaha baru yang tidak dikenal sebelum pemberontakan. Perubahan ini mencerminkan pergeseran signifikan dalam basis kekuatan rezim, dari elit lama ke wajah-wajah baru yang setia dan teruji dalam api perang. Pemilihan parlemen 2016 juga menunjukkan tren serupa, dengan 70 persen deputi digantikan oleh pendatang baru.
Kesimpulannya, kolaborasi antara rezim dan para pengusaha Sunni telah dipertahankan, meskipun dengan wajah-wajah baru. Loyalitas menjadi faktor penentu utama, dan kegagalan untuk setia akan berujung pada hukuman yang berat. Rezim tidak menentang populasi Sunni secara keseluruhan, tetapi hanya mereka yang dianggap sebagai musuh, yang sebagian besar berasal dari kalangan rakyat miskin di pedesaan dan kota-kota kecil.
Rezim telah berhasil memecah belah populasi dengan menggunakan sektarianisme sebagai alat dominasi. Dengan menggambarkan pemberontakan sebagai konspirasi asing yang dipimpin oleh jihadis, rezim berhasil mengikat minoritas agama dan kaum sekuler ke sisinya. Meskipun banyak warga sipil Sunni menjadi korban kekerasan, ini tidak berarti rezim secara keseluruhan menentang semua orang Sunni, karena basis dukungannya di Damaskus dan Aleppo serta milisi yang setia juga memiliki kehadiran Sunni yang signifikan.
Sektarianisme bagi rezim Suriah bukanlah tujuan, melainkan alat dominasi yang efektif. Hal ini juga membantu mengaburkan hubungan kelas yang ada dalam masyarakat Suriah. Memahami dinamika kekuasaan di Suriah memerlukan pendekatan yang hati-hati, yang tidak hanya melihat identitas agama dan etnis, tetapi juga hubungan kelas, regionalisme, dan patronase yang kompleks.
Pelajaran dari Suriah adalah bahwa rekonstruksi akan dipimpin oleh mereka yang muncul sebagai pemenang dari konflik. Para pengusaha baru ini, yang telah membuktikan loyalitas mereka kepada rezim melalui perang, akan menjadi tulang punggung pembangunan kembali. Mereka akan mendapatkan kontrak-kontrak besar dan membentuk perusahaan-perusahaan baru yang akan menjadi pilar ekonomi Suriah pasca-perang. Perusahaan-perusahaan ini, baik yang mempertahankan nama lama atau berganti nama, akan menjadi simbol dari kekuasaan baru dan ekonomi yang dibangun di atas reruntuhan.
loading...
0 comments:
Post a Comment