Monday, December 29, 2025

Politik Yaman dan Bisnis Kekuasaan

1:25:00 AM
Drama politik Yaman tidak berdiri di ruang hampa, melainkan tumbuh dari ekonomi perang yang mengakar di hampir semua faksi. Dari pelabuhan hingga ladang minyak, dari bantuan kemanusiaan hingga anggaran keamanan, konflik menciptakan ekosistem kekuasaan yang membuat perdamaian justru menjadi ancaman bagi mereka yang selama ini diuntungkan oleh ketidakstabilan.

Drama politik di Yaman sangat kuat dipengaruhi kepentingan ekonomi faksi-faksi, tetapi bukan hanya ekonomi. Ia bertumpuk dengan kepentingan keamanan, ideologi, identitas wilayah, dan persaingan regional. Pernyataan resmi UEA yang mendukung Saudi perlu dibaca dalam kerangka ini.

Penjelasannya sebagai berikut.

Pertama, ekonomi perang adalah realitas di Yaman. Hampir semua faksi—Houthi, elite pemerintah internasional (PLC), faksi Islah, hingga STC di selatan—memiliki sumber pendapatan sendiri yang bergantung pada konflik. Pajak pelabuhan, bea cukai, minyak, gas, bantuan kemanusiaan, bahkan gaji pegawai fiktif menjadi ladang ekonomi politik. Perang menciptakan sistem rente.

Kedua, Houthi bukan sekadar aktor ideologis, tetapi juga aktor ekonomi. Mereka menguasai pelabuhan Hodeidah, jalur perdagangan utara, pajak internal, dan ekonomi bayangan berbasis perang. Semakin lama konflik bertahan, semakin mapan struktur ekonomi mereka. Perdamaian penuh justru mengancam dominasi ekonomi ini.

Ketiga, pemerintah Yaman versi internasional (kini PLC) juga tidak steril dari kepentingan ekonomi. Banyak elite hidup dari status quo: dana Saudi, legitimasi diplomatik, dan pengelolaan sumber daya terbatas di Marib dan Hadramaut. Negara lemah tetapi elit kuat—sebuah pola klasik negara konflik.

Keempat, STC dan elite Yaman Selatan memiliki kepentingan ekonomi yang sangat jelas. Kontrol atas Aden, pelabuhan, bandara, dan potensi energi di Shabwa–Hadramaut membuat agenda separatisme tidak bisa dilepaskan dari ekonomi. Negara selatan berarti kontrol langsung atas sumber daya tanpa Mogadishu—atau dalam konteks ini—Sana’a.

Kelima, di sinilah peran UEA berbeda dari Saudi. UEA tidak bermain pada ide “Yaman bersatu”, melainkan pada stabilitas koridor ekonomi dan maritim: Aden, Mukalla, Bab al-Mandab, Socotra. Dukungan UEA pada STC bukan romantisme ideologis, tetapi logika pelabuhan, logistik, dan jalur dagang.

Keenam, sementara itu Saudi fokus pada keamanan perbatasan dan ancaman Houthi-Iran. Saudi ingin Yaman cukup stabil agar tidak menjadi sumber rudal dan drone, tetapi tidak harus kuat atau bersatu sepenuhnya. Karena itu, Saudi cenderung mempertahankan PLC sebagai payung formal.

Ketujuh, pernyataan UEA yang “mendukung upaya Saudi” bersifat diplomasi formal, bukan penyatuan strategi sepenuhnya. Di lapangan, kepentingan UEA dan Saudi sering berjalan paralel tapi tidak selalu searah. Saudi menjaga kerangka negara, UEA mengamankan simpul ekonomi.

Kedelapan, konflik Yaman bukan “UEA mendukung Saudi” dalam arti subordinasi. Lebih tepat disebut pembagian peran. Saudi memikul beban politik dan keamanan utama, UEA mengamankan titik-titik bernilai ekonomi tinggi.

Kesembilan, apakah drama politik Yaman “dibuat” demi ekonomi? Tidak sepenuhnya dibuat, tetapi dipelihara. Banyak faksi sadar bahwa perang memberi mereka kekuasaan, uang, dan otonomi yang tidak mungkin mereka dapatkan dalam negara damai dan terpusat.

Kesepuluh, inilah mengapa setiap proses damai di Yaman selalu rapuh. Perdamaian berarti transparansi, institusi, dan pembagian ulang kekuasaan—sesuatu yang justru merugikan para “pemenang perang”.

Kesimpulannya, ekonomi adalah bahan bakar konflik Yaman, sementara ideologi, keamanan, dan geopolitik adalah pembenarnya. Pernyataan UEA yang terdengar idealistis tentang “stabilitas dan kesejahteraan rakyat Yaman” adalah bahasa diplomasi, tetapi di baliknya terdapat kalkulasi keras tentang pelabuhan, jalur laut, dan pengaruh regional.


loading...

0 comments: