Saturday, July 5, 2025

Dominasi Parpol dan Kesenjangan Marga di DPRD Sumut

4:30:00 PM


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara periode 2024–2029 telah resmi dilantik dengan komposisi 99 anggota legislatif dari berbagai partai politik dan daerah pemilihan. Namun, di tengah keberagaman yang tampak di atas kertas, muncul pertanyaan klasik yang kembali mencuat: sejauh mana keterwakilan suku atau marga, khususnya Batak, benar-benar terwakili secara adil di parlemen daerah tersebut. Padahal, dari segi jumlah populasi, sejumlah marga Batak menempati posisi dominan di provinsi ini.

Berdasarkan data dari forebears.io yang dirilis dalam bentuk grafik oleh akun @justforstev24, tercatat marga Siregar menempati peringkat pertama dengan lebih dari 313 ribu jiwa, disusul oleh Sinaga, Lubis, Nasution, Harahap, hingga Ginting dan Sihombing. Angka ini menunjukkan bahwa marga-marga tersebut memiliki basis demografi yang sangat kuat di Sumatera Utara, yang seharusnya juga sebanding dengan proporsi perwakilan mereka di lembaga legislatif provinsi.

Namun realitanya, perwakilan marga-marga besar tersebut belum sinkron dengan komposisi kursi di DPRD Sumut. Nama-nama marga besar seperti Siregar, Lubis, atau Hasibuan memang ada, namun jumlahnya masih tidak sebanding dengan proporsi demografi mereka. Sistem pemilu yang berbasis partai dan daerah pemilihan menyebabkan keterwakilan lebih dipengaruhi oleh strategi partai dan popularitas individu ketimbang distribusi marga dalam populasi.

Kondisi ini menimbulkan tantangan tersendiri. Di satu sisi, sistem demokrasi elektoral Indonesia memang tidak mengenal kuota berbasis marga atau suku. Namun di sisi lain, jika komposisi marga tidak tercermin secara adil dalam lembaga perwakilan, maka suara dan kepentingan komunitas besar bisa tersisih dalam proses pengambilan kebijakan daerah. Ketimpangan ini dapat menciptakan rasa ketidakpuasan sosial yang berujung pada menurunnya kepercayaan terhadap sistem politik.

Partai politik sebenarnya memiliki peluang besar untuk memperbaiki situasi ini. Mereka bisa lebih proaktif dalam mengakomodasi figur-figur dari marga besar, bukan hanya untuk mendulang suara, tetapi juga untuk memastikan distribusi kekuasaan yang lebih merata. Jika parpol lebih sensitif terhadap struktur sosial dan budaya lokal, maka komposisi legislatif yang lahir pun bisa lebih representatif.

Mengakomodasi marga-marga besar bukan berarti menyingkirkan marga-marga kecil. Justru sebaliknya, hal ini dapat menciptakan keseimbangan politik dan mendorong keterlibatan semua komunitas dalam demokrasi lokal. Representasi yang proporsional memungkinkan aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat tersalur dengan lebih baik dan menurunkan potensi konflik horizontal antar komunitas.

Namun sistem saat ini juga memiliki keunggulan tersendiri. Sistem terbuka dan berbasis suara terbanyak mendorong munculnya calon-calon legislatif yang memang punya kapasitas dan popularitas di masyarakat, tidak semata-mata karena latar belakang marganya. Ini membuka ruang meritokrasi, di mana individu dipilih karena prestasi dan rekam jejak, bukan sekadar faktor keturunan atau identitas etnis.

Di sisi lain, sistem tanpa pertimbangan etnografis kadang membuat calon dari marga besar terpecah suaranya karena terlalu banyak yang maju dari satu komunitas. Akibatnya, mereka justru kalah oleh calon dari marga kecil yang maju tunggal dan solid dukungannya. Ini ironi demokrasi elektoral yang sering tidak disadari, dan bisa diatasi dengan komunikasi yang lebih baik di internal komunitas marga itu sendiri.

Jika representasi marga besar diselaraskan lebih sistematis dalam pencalonan legislatif, maka akan tercipta keselarasan antara peta sosial dan peta politik Sumatera Utara. Selain menjaga stabilitas politik, hal ini juga dapat meningkatkan legitimasi lembaga legislatif di mata rakyat. Representasi simbolik seperti ini penting dalam konteks budaya Batak yang sangat menghargai struktur sosial dan asal-usul.

Namun harmonisasi ini tetap perlu dikawal agar tidak menjadi eksklusif atau diskriminatif. Keterwakilan marga besar seharusnya tidak mengorbankan kesempatan bagi kelompok minoritas atau marga kecil. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberi ruang bagi semua suara, termasuk suara-suara kecil yang tidak dominan dalam statistik demografis.

Kuncinya ada pada keseimbangan. Partai politik harus mampu merancang daftar caleg yang inklusif tetapi juga peka terhadap struktur sosial lokal. KPU dan penyelenggara pemilu juga bisa memberikan edukasi kepada pemilih agar tidak semata-mata memilih berdasarkan kedekatan etnis, tetapi juga berdasarkan kualitas calon. Di sisi lain, komunitas marga besar juga harus lebih solid dan strategis dalam mengatur pencalonan.

Dalam konteks Sumatera Utara yang plural, distribusi kekuasaan secara merata sangat penting untuk menjaga keharmonisan antarkelompok. Jika marga besar terlalu terpinggirkan di legislatif, mereka bisa merasa tidak diwakili. Sebaliknya, jika hanya marga besar yang mendominasi, marga kecil bisa merasa kehilangan tempat. Keseimbangan ini hanya bisa dicapai lewat desain politik yang adil dan peka budaya.

Saat ini, dominasi partai besar seperti Golkar dan PDIP masih menentukan wajah DPRD Sumut. Beberapa kader dari marga besar memang berhasil duduk di kursi dewan, namun itu lebih karena popularitas dan kekuatan pribadi ketimbang desain sistemis dari partai. Ke depan, partai perlu lebih terbuka dalam menyeleksi caleg berbasis sebaran sosial dan marga, agar suara rakyat benar-benar mencerminkan masyarakat Sumut yang sesungguhnya.

Kritik atas tidak sinkronnya komposisi marga dengan kursi legislatif bukan untuk memaksakan identitas tertentu, tapi demi pemerataan representasi. Karena dalam demokrasi lokal, suara kolektif komunitas tetap relevan sebagai kekuatan politik. Marga besar tak boleh hanya menjadi lumbung suara, tapi juga harus diberi ruang dalam pengambilan kebijakan yang memengaruhi komunitas mereka.

Jika langkah ini diterapkan secara bijak, Sumatera Utara bisa menjadi model bagaimana keberagaman etnis dan sistem politik bisa berpadu dalam harmoni. DPRD yang mewakili sebaran sosial dengan adil akan memiliki legitimasi yang kuat dan bisa menjalankan fungsi legislasi serta pengawasan dengan lebih efektif. Partisipasi politik pun akan tumbuh lebih sehat dan inklusif.

Maka, ke depan, rekonsiliasi antara struktur demografi dan representasi politik menjadi agenda penting di Sumatera Utara. Parpol tak cukup hanya berpikir soal kemenangan suara, tetapi juga harus menimbang keadilan sosial dan representasi budaya. Dan masyarakat, termasuk marga-marga besar, harus aktif mengorganisasi aspirasi mereka agar tidak sekadar menjadi statistik, tapi benar-benar terwakili dalam ruang pengambilan keputusan.

Baca selanjutnya

loading...

0 comments: